Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata, " Murâqabatullâh 
(selalu merasakan pengawasan Allâh Azza wa Jalla) adalah termasuk amalan
 hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan 
diri (beribadah) kepada Allâh dengan (memahami dan mengamalkan makna 
yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi) dan 
asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui
 (meyakini) bahwa semua gerakan (aktifitas)nya yang lahir maupun batin, 
tidak ada (satu pun) yang luput dari pengetahuan-Nya, dan dia 
(senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini 
(semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya 
dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allâh Azza wa 
Jalla , menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan 
perbuatan yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla , dan akan beribadah 
(mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ) dengan al-ihsân. Dengan 
itu, maka ia akan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seakan-akan 
melihat-Nya, kalau tidak bisa melihat-Nya maka ia (yakin) sesungguhnya 
Allâh melihatnya". Kalau kita merenungkan dengan seksama ayat-ayat 
al-Qur'ân yang menerangkan luasnya ilmu Allâh Azza wa Jalla dan 
bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan dan 
pengawasan-Nya, baik yang tampak di mata manusia maupun tersembunyi. 
 
Renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut: "Dari Abu 
Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman: "Seorang hamba melakukan perbuatan 
dosa, kemudian dia berdoa: "Ya Allah ampunilah dosaku". Maka Allah Azza 
wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini 
bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas perbuatan 
dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun mengampuni dosanya), kemudian hamba
 itu berbuat dosa lagi lalu berdoa: "Ya rabbku ampunilah dosaku". Maka 
Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia 
meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas 
perbuatan dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun mengampuni dosanya), 
kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa: "Ya Tuhanku ampunilah 
dosaku". Maka Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat 
dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) 
Mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu wahai 
hamba-Ku, maka sungguh Aku telah mengampunimu" . Yaitu: "selama kamu 
terus bertobat, memohon dan kembali kepada-Ku". 
 
Al-Ghaniy merupakan salah satu nama Allah Azza wa Jalla yang sangat 
indah. Keindahannya terletak pada nama dan makna-Nya. Nama ini, 
sebagaimana nama-nama Allah Azza wa Jalla lainnya, juga menunjukkan 
sifat kesempurnaan bagi Allah Azza wa Jalla , yaitu Kesempurnaan yang 
tidak mengandung unsur kelemahan sedikitpun ditinjau dari semua 
sudutnya. Para ulama yang menghimpun nama-nama Allah Azza wa Jalla , 
mencantumkan nama ini di dalam kitab mereka. Imam al-Baihaqi (wafat 
th.458 H) memasukkannya ke dalam bab nama-nama Allah Azza wa Jalla yang 
penekanannya meniadakan penyerupaan antara Allah Azza wa Jalla dengan 
makhluk-Nya. Sebagai dalil bahwa al-Ghaniy merupakan nama Allah Azza wa 
Jalla . beliau membawakan firman Allah Azza wa Jalla : "Dan Allah-lah 
yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya)". 
Selanjutnya, beliau rahimahullah membawakan perkataan al-Hulaimi tentang
 makna nama al-Ghaniy, yaitu: Bahwa Allah Azza wa Jalla Maha sempurna 
dengan apa yang Dia miliki dan apa yang ada disisi-Nya, Sehingga Dia 
tidak butuh kepada selain-Nya. Sifat tidak membutuhkan inilah yang 
menjadi sifat Allah Azza wa Jalla , dan sifat membutuhkan adalah sifat 
kekurangan. Seseorang yang membutuhkan adalah seseorang yang memerlukan 
apa yang dibutuhkannya hingga dapat ia capai dan ia raih. 
 
Begitu pula pujian Allah kepada para nabi dan rasul, mereka adalah 
orang-orang yang telah diberi petunjuk dan dipilih Allah. Apabila 
dibacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud
 dan menangis. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya, 
yang artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail
 (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang
 benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh 
ahlinya untuk (menegakkan) shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah 
seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. Dan ceritakanlah (hai Muhammad 
kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. 
Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.
 Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah
 orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari 
keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan 
dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami 
beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah 
Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud dan 
menangis". Demikian pula pujian Allah terhadap para sahabat, bahwa 
mereka bersikap keras tarhadap musuh-musuh Allah, tetapi berkasih sayang
 terhadap sesama muslim. Mereka orang-orang yang banyak ruku' dan sujud 
dalam mencari dan keridhaan Allah, sehingga memberi bekas pada wajah 
mereka. 
Karena al-Qâbidh dan al-Bâsith merupakan nama Allah Azza wa Jalla , maka
 sepantasnya setiap muslim mengenalnya dan memahami serta menghayati 
ma’nanya. Yaitu bahwa setiap rizki dan setiap kemudahan dalam hal apa 
saja, hanya datang dari Allah Azza wa Jalla. Dan hanya milik Allah 
Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya 
dengan menyebut Asma-ul Husna itu. Berarti ia telah berdoa, dalam arti 
seluas-luasnya kepada Allah, meliputi doa permohonan dan doa peribadatan
 lain, dengan menyebut atau mengingat nama-nama Allah sesuai dengan 
tuntutan ma’nanya. Wallahu A’lam. Yang tidak kalah pentingnya, tidak 
mendendangkan Asmâ’ul Husnâ dalam lagu-lagu dan main-main, apalagi dalam
 suasana ikhtilâth (campur) antara laki-laki dan perempuan. Tetapi 
dengan sungguh-sungguh, khusyu’ dan tawadhu’. Dan tidak harus pula 
menyebutkan Asmâ’ul husnâ itu secara keseluruhan sebanyak sembilan puluh
 sembilan nama secara berurutan. Sebab tidak ada nash yang shahih yang 
menyebutkan sembilan puluh sembilan nama itu secara berurut. Syaikh 
Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Tidak benar 
adanya penentuan urut-urutan nama-nama Allah ini dari Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Hadits yang diriwayatkan dari Nabi n tentang 
penentuan urut-urutan ini lemah”. 
Tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , ada beberapa hal yang 
harus kita pahami sebagaimana terdapat pada ayat di atas. Pertama : 
Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang sangat 
mulia lagi indah. Barang siapa yang tidak meyakini nama-nama Allah 
Subhanahu wa Ta’ala , maka orang tersebut tidak beriman kepada Allah 
Subhanahu wa Ta’ala secara utuh dan benar. Bila kita perhatikan, begitu 
banyak ayat Al-Qur`ân yang ditutup dengan nama-nama Allah Subhanahu wa 
Ta’ala . Dan makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut sangat 
erat hubungannya dengan konteks ayat itu sendiri. Kedua : Nama-nama 
Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut menggandung makna yang sangat 
sempurna yang disebut sifat. Orang yang tidak meyakini tentang sifat 
yang terkandumg dalam nama-nama Allah berarti ia telah melakukan 
penyimpangan dalam beriman kepada Allah. Ketiga : Berdoa dan beribadah 
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama mulia itu. Untuk 
mencapai kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
 ialah dengan memahami makna nama-mana Allah tersebut. Sehingga 
menghadirkan rasa khusyu' dalam beribadah, karena saat beribadah 
seolah-olah kita melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau kita merasa 
sedang dilihat oleh-Nya.
 
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata, " Murâqabatullâh 
(selalu merasakan pengawasan Allâh Azza wa Jalla) adalah termasuk amalan
 hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan 
diri (beribadah) kepada Allâh dengan (memahami dan mengamalkan makna 
yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi) dan 
asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui
 (meyakini) bahwa semua gerakan (aktifitas)nya yang lahir maupun batin, 
tidak ada (satu pun) yang luput dari pengetahuan-Nya, dan dia 
(senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini 
(semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya 
dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allâh Azza wa 
Jalla , menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan 
perbuatan yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla , dan akan beribadah 
(mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ) dengan al-ihsân. Dengan 
itu, maka ia akan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seakan-akan 
melihat-Nya, kalau tidak bisa melihat-Nya maka ia (yakin) sesungguhnya 
Allâh melihatnya". Kalau kita merenungkan dengan seksama ayat-ayat 
al-Qur'ân yang menerangkan luasnya ilmu Allâh Azza wa Jalla dan 
bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan dan 
pengawasan-Nya, baik yang tampak di mata manusia maupun tersembunyi. 
 
Renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut: "Dari Abu 
Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman: "Seorang hamba melakukan perbuatan 
dosa, kemudian dia berdoa: "Ya Allah ampunilah dosaku". Maka Allah Azza 
wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini 
bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas perbuatan 
dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun mengampuni dosanya), kemudian hamba
 itu berbuat dosa lagi lalu berdoa: "Ya rabbku ampunilah dosaku". Maka 
Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia 
meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas 
perbuatan dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun mengampuni dosanya), 
kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa: "Ya Tuhanku ampunilah 
dosaku". Maka Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat 
dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) 
Mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu wahai 
hamba-Ku, maka sungguh Aku telah mengampunimu" . Yaitu: "selama kamu 
terus bertobat, memohon dan kembali kepada-Ku". 
 
Al-Ghaniy merupakan salah satu nama Allah Azza wa Jalla yang sangat 
indah. Keindahannya terletak pada nama dan makna-Nya. Nama ini, 
sebagaimana nama-nama Allah Azza wa Jalla lainnya, juga menunjukkan 
sifat kesempurnaan bagi Allah Azza wa Jalla , yaitu Kesempurnaan yang 
tidak mengandung unsur kelemahan sedikitpun ditinjau dari semua 
sudutnya. Para ulama yang menghimpun nama-nama Allah Azza wa Jalla , 
mencantumkan nama ini di dalam kitab mereka. Imam al-Baihaqi (wafat 
th.458 H) memasukkannya ke dalam bab nama-nama Allah Azza wa Jalla yang 
penekanannya meniadakan penyerupaan antara Allah Azza wa Jalla dengan 
makhluk-Nya. Sebagai dalil bahwa al-Ghaniy merupakan nama Allah Azza wa 
Jalla . beliau membawakan firman Allah Azza wa Jalla : "Dan Allah-lah 
yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya)". 
Selanjutnya, beliau rahimahullah membawakan perkataan al-Hulaimi tentang
 makna nama al-Ghaniy, yaitu: Bahwa Allah Azza wa Jalla Maha sempurna 
dengan apa yang Dia miliki dan apa yang ada disisi-Nya, Sehingga Dia 
tidak butuh kepada selain-Nya. Sifat tidak membutuhkan inilah yang 
menjadi sifat Allah Azza wa Jalla , dan sifat membutuhkan adalah sifat 
kekurangan. Seseorang yang membutuhkan adalah seseorang yang memerlukan 
apa yang dibutuhkannya hingga dapat ia capai dan ia raih. 
 
Begitu pula pujian Allah kepada para nabi dan rasul, mereka adalah 
orang-orang yang telah diberi petunjuk dan dipilih Allah. Apabila 
dibacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud
 dan menangis. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya, 
yang artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail
 (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang
 benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh 
ahlinya untuk (menegakkan) shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah 
seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. Dan ceritakanlah (hai Muhammad 
kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. 
Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.
 Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah
 orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari 
keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan 
dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami 
beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah 
Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud dan 
menangis". Demikian pula pujian Allah terhadap para sahabat, bahwa 
mereka bersikap keras tarhadap musuh-musuh Allah, tetapi berkasih sayang
 terhadap sesama muslim. Mereka orang-orang yang banyak ruku' dan sujud 
dalam mencari dan keridhaan Allah, sehingga memberi bekas pada wajah 
mereka. 
  
 Karena al-Qâbidh dan al-Bâsith merupakan nama Allah Azza wa Jalla , maka
 sepantasnya setiap muslim mengenalnya dan memahami serta menghayati 
ma’nanya. Yaitu bahwa setiap rizki dan setiap kemudahan dalam hal apa 
saja, hanya datang dari Allah Azza wa Jalla. Dan hanya milik Allah 
Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya 
dengan menyebut Asma-ul Husna itu. Berarti ia telah berdoa, dalam arti 
seluas-luasnya kepada Allah, meliputi doa permohonan dan doa peribadatan
 lain, dengan menyebut atau mengingat nama-nama Allah sesuai dengan 
tuntutan ma’nanya. Wallahu A’lam. Yang tidak kalah pentingnya, tidak 
mendendangkan Asmâ’ul Husnâ dalam lagu-lagu dan main-main, apalagi dalam
 suasana ikhtilâth (campur) antara laki-laki dan perempuan. Tetapi 
dengan sungguh-sungguh, khusyu’ dan tawadhu’. Dan tidak harus pula 
menyebutkan Asmâ’ul husnâ itu secara keseluruhan sebanyak sembilan puluh
 sembilan nama secara berurutan. Sebab tidak ada nash yang shahih yang 
menyebutkan sembilan puluh sembilan nama itu secara berurut. Syaikh 
Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Tidak benar 
adanya penentuan urut-urutan nama-nama Allah ini dari Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Hadits yang diriwayatkan dari Nabi n tentang 
penentuan urut-urutan ini lemah”. 
  
Tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , ada beberapa hal yang 
harus kita pahami sebagaimana terdapat pada ayat di atas. Pertama : 
Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang sangat 
mulia lagi indah. Barang siapa yang tidak meyakini nama-nama Allah 
Subhanahu wa Ta’ala , maka orang tersebut tidak beriman kepada Allah 
Subhanahu wa Ta’ala secara utuh dan benar. Bila kita perhatikan, begitu 
banyak ayat Al-Qur`ân yang ditutup dengan nama-nama Allah Subhanahu wa 
Ta’ala . Dan makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut sangat 
erat hubungannya dengan konteks ayat itu sendiri. Kedua : Nama-nama 
Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut menggandung makna yang sangat 
sempurna yang disebut sifat. Orang yang tidak meyakini tentang sifat 
yang terkandumg dalam nama-nama Allah berarti ia telah melakukan 
penyimpangan dalam beriman kepada Allah. Ketiga : Berdoa dan beribadah 
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama mulia itu. Untuk 
mencapai kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
 ialah dengan memahami makna nama-mana Allah tersebut. Sehingga 
menghadirkan rasa khusyu' dalam beribadah, karena saat beribadah 
seolah-olah kita melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau kita merasa 
sedang dilihat oleh-Nya.
  
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata, " Murâqabatullâh 
(selalu merasakan pengawasan Allâh Azza wa Jalla) adalah termasuk amalan
 hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan 
diri (beribadah) kepada Allâh dengan (memahami dan mengamalkan makna 
yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi) dan 
asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui
 (meyakini) bahwa semua gerakan (aktifitas)nya yang lahir maupun batin, 
tidak ada (satu pun) yang luput dari pengetahuan-Nya, dan dia 
(senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini 
(semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya 
dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allâh Azza wa 
Jalla , menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan 
perbuatan yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla , dan akan beribadah 
(mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ) dengan al-ihsân. Dengan 
itu, maka ia akan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seakan-akan 
melihat-Nya, kalau tidak bisa melihat-Nya maka ia (yakin) sesungguhnya 
Allâh melihatnya". Kalau kita merenungkan dengan seksama ayat-ayat 
al-Qur'ân yang menerangkan luasnya ilmu Allâh Azza wa Jalla dan 
bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan dan 
pengawasan-Nya, baik yang tampak di mata manusia maupun tersembunyi. 
  
Renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut: "Dari Abu 
Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman: "Seorang hamba melakukan perbuatan 
dosa, kemudian dia berdoa: "Ya Allah ampunilah dosaku". Maka Allah Azza 
wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini 
bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas perbuatan 
dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun mengampuni dosanya), kemudian hamba
 itu berbuat dosa lagi lalu berdoa: "Ya rabbku ampunilah dosaku". Maka 
Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia 
meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas 
perbuatan dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun mengampuni dosanya), 
kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa: "Ya Tuhanku ampunilah 
dosaku". Maka Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat 
dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) 
Mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu wahai 
hamba-Ku, maka sungguh Aku telah mengampunimu" . Yaitu: "selama kamu 
terus bertobat, memohon dan kembali kepada-Ku". 
  
Al-Ghaniy merupakan salah satu nama Allah Azza wa Jalla yang sangat 
indah. Keindahannya terletak pada nama dan makna-Nya. Nama ini, 
sebagaimana nama-nama Allah Azza wa Jalla lainnya, juga menunjukkan 
sifat kesempurnaan bagi Allah Azza wa Jalla , yaitu Kesempurnaan yang 
tidak mengandung unsur kelemahan sedikitpun ditinjau dari semua 
sudutnya. Para ulama yang menghimpun nama-nama Allah Azza wa Jalla , 
mencantumkan nama ini di dalam kitab mereka. Imam al-Baihaqi (wafat 
th.458 H) memasukkannya ke dalam bab nama-nama Allah Azza wa Jalla yang 
penekanannya meniadakan penyerupaan antara Allah Azza wa Jalla dengan 
makhluk-Nya. Sebagai dalil bahwa al-Ghaniy merupakan nama Allah Azza wa 
Jalla . beliau membawakan firman Allah Azza wa Jalla : "Dan Allah-lah 
yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya)". 
Selanjutnya, beliau rahimahullah membawakan perkataan al-Hulaimi tentang
 makna nama al-Ghaniy, yaitu: Bahwa Allah Azza wa Jalla Maha sempurna 
dengan apa yang Dia miliki dan apa yang ada disisi-Nya, Sehingga Dia 
tidak butuh kepada selain-Nya. Sifat tidak membutuhkan inilah yang 
menjadi sifat Allah Azza wa Jalla , dan sifat membutuhkan adalah sifat 
kekurangan. Seseorang yang membutuhkan adalah seseorang yang memerlukan 
apa yang dibutuhkannya hingga dapat ia capai dan ia raih. 
  
Begitu pula pujian Allah kepada para nabi dan rasul, mereka adalah 
orang-orang yang telah diberi petunjuk dan dipilih Allah. Apabila 
dibacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud
 dan menangis. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya, 
yang artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail
 (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang
 benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh 
ahlinya untuk (menegakkan) shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah 
seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. Dan ceritakanlah (hai Muhammad 
kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. 
Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.
 Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah
 orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari 
keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan 
dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami 
beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah 
Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud dan 
menangis". Demikian pula pujian Allah terhadap para sahabat, bahwa 
mereka bersikap keras tarhadap musuh-musuh Allah, tetapi berkasih sayang
 terhadap sesama muslim. Mereka orang-orang yang banyak ruku' dan sujud 
dalam mencari dan keridhaan Allah, sehingga memberi bekas pada wajah 
mereka. 
  
Karena al-Qâbidh dan al-Bâsith merupakan nama Allah Azza wa Jalla , maka
 sepantasnya setiap muslim mengenalnya dan memahami serta menghayati 
ma’nanya. Yaitu bahwa setiap rizki dan setiap kemudahan dalam hal apa 
saja, hanya datang dari Allah Azza wa Jalla. Dan hanya milik Allah 
Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya 
dengan menyebut Asma-ul Husna itu. Berarti ia telah berdoa, dalam arti 
seluas-luasnya kepada Allah, meliputi doa permohonan dan doa peribadatan
 lain, dengan menyebut atau mengingat nama-nama Allah sesuai dengan 
tuntutan ma’nanya. Wallahu A’lam. Yang tidak kalah pentingnya, tidak 
mendendangkan Asmâ’ul Husnâ dalam lagu-lagu dan main-main, apalagi dalam
 suasana ikhtilâth (campur) antara laki-laki dan perempuan. Tetapi 
dengan sungguh-sungguh, khusyu’ dan tawadhu’. Dan tidak harus pula 
menyebutkan Asmâ’ul husnâ itu secara keseluruhan sebanyak sembilan puluh
 sembilan nama secara berurutan. Sebab tidak ada nash yang shahih yang 
menyebutkan sembilan puluh sembilan nama itu secara berurut. Syaikh 
Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Tidak benar 
adanya penentuan urut-urutan nama-nama Allah ini dari Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Hadits yang diriwayatkan dari Nabi n tentang 
penentuan urut-urutan ini lemah”. 
  
Tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , ada beberapa hal yang 
harus kita pahami sebagaimana terdapat pada ayat di atas. Pertama : 
Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang sangat 
mulia lagi indah. Barang siapa yang tidak meyakini nama-nama Allah 
Subhanahu wa Ta’ala , maka orang tersebut tidak beriman kepada Allah 
Subhanahu wa Ta’ala secara utuh dan benar. Bila kita perhatikan, begitu 
banyak ayat Al-Qur`ân yang ditutup dengan nama-nama Allah Subhanahu wa 
Ta’ala . Dan makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut sangat 
erat hubungannya dengan konteks ayat itu sendiri. Kedua : Nama-nama 
Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut menggandung makna yang sangat 
sempurna yang disebut sifat. Orang yang tidak meyakini tentang sifat 
yang terkandumg dalam nama-nama Allah berarti ia telah melakukan 
penyimpangan dalam beriman kepada Allah. Ketiga : Berdoa dan beribadah 
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama mulia itu. Untuk 
mencapai kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
 ialah dengan memahami makna nama-mana Allah tersebut. Sehingga 
menghadirkan rasa khusyu' dalam beribadah, karena saat beribadah 
seolah-olah kita melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau kita merasa 
sedang dilihat oleh-Nya.